Piagam Jakarta
DEKRIT Presiden 5 Juli 1959, yang memberlakukan
kembali UUD 1945, menegaskan: "Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945
menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan
dengan Konstitusi tersebut." Mengapa dalam Dekrit Presiden atas nama
rakyat Indonesia itu terkandung pernyataan demikian?
Pergerakan-pergerak an kemerdekaan Indonesia yang
dimulai sejak awal abad ke-20 telah menunjukkan bipolarisasi: pergerakan
nasionalis "sekuler" berdasarkan kebangsaan, dan pergerakan
nasionalis "islami" berdasarkan Islam. Kedua paham ini mewarnai
Sidang Pertama Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan)
yang berlangsung dari 29 Mei sampai 1 Juni 1945.
Sidang tersebut beracara tunggal, yaitu menentukan
dasar negara Indonesia. Anggota Badan Penyelidik terbagi menjadi dua kelompok:
yang menghendaki "negara Islam" dan yang menghendaki "bukan
negara Islam". Pada hari terakhir sidang tanggal 1 Juni, Sukarno sebagai
anggota Badan Penyelidik mengajukan usul lima dasar negara yang dinamainya
Pancasila: (1) Kebangsaan; (2) Internasionalisme; (3) Demokrasi; (4)
Kesejahteraan Sosial; dan (5) Ketuhanan. Sukarno menegaskan, dengan sila
Demokrasi hukum-hukum Islam dapat diundangkan melalui badan perwakilan rakyat.
Ternyata pidato Sukarno yang kompromistis itu dapat
meneduhkan pertentangan yang mulai menajam. Terbentuklah Panitia Sembilan untuk
menyusun Pembukaan UUD, terdiri dari lima nasionalis sekuler (Sukarno, Mohammad
Hatta, A.A. Maramis, Achmad Subardjo, dan Muhammad Yamin) serta empat
nasionalis islami (Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, dan
Wahid Hasjim).
Dalam Pembukaan UUD yang mereka susun pada 22 Juni
1945, yang dikenal sebagai Piagam Jakarta, Pancasila dirumuskan untuk pertama
kalinya sebagai berikut: (1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3)
Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan; dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pembukaan UUD (Piagam Jakarta) ini diterima bulat
oleh Badan Penyelidik dalam Sidang Kedua dari tanggal 10 sampai 16 Juli 1945
setelah melalui perdebatan sengit. Sidang Kedua itu pun berhasil menyusun
batang tubuh UUD.
Pada 7 Agustus 1945 terbentuklah Dokuritsu Junbi
Iinkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan) . Sehari sesudah proklamasi kemerdekaan,
18 Agustus 1945, mereka bersidang untuk mengesahkan UUD hasil susunan Badan
Penyelidik. Berdasarkan usul seorang perwira Angkatan Laut Jepang kepada Bung
Hatta (dalam buku Sekitar Proklamasi, Hatta mengatakan perwira itu mengaku
membawa suara umat Kristen di Indonesia Timur), ternyata sidang Panitia
Persiapan itu mencoret kalimat-kalimat dalam UUD yang berisi kata-kata
"Islam". Sila pertama Pancasila diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha
Esa. Sila kedua sampai kelima tidak mengalami perubahan. Hari itu juga UUD
disahkan dan dikenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945.
Akan tetapi, UUD 1945 hanya bertahan empat tahun.* Pada
tahun 1949 kita memakai UUD RIS (Republik Indonesia Serikat). Setahun kemudian
berlaku UUD Sementara 1950. Pada tahun 1955 diadakan pemilihan umum untuk
memilih anggota DPR (29 September) dan anggota Konstituante (15 Desember).
Konstituante bertugas menyusun UUD permanen.
Dalam sidang-sidang Konstituante yang berlangsung
sejak pelantikan anggotanya tanggal 10 November 1956, fraksi-fraksi Islam
(Masyumi, NU, PSII, Perti, PPTI, AKUI, Gerpis, dan Penyaluran) memperjuangkan
Islam sebagai dasar negara. Menurut mereka, Pancasila harus hidup dalam asuhan
dan rawatan Islam. Jika tidak demikian, Pancasila akan ditelan komunisme.
Namun, fraksi-fraksi lainnya keberatan. Sidang-sidang konstituante yang
berlangsung di Gedung Merdeka, Bandung, menjadi berlarut-larut lebih dari dua
tahun.
Pada tanggal 19 Februari 1959, Dewan Menteri
(Kabinet) yang dipimpin Perdana Menteri Ir. H. Djuanda memutuskan pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945. Keputusan itu diajukan ke
DPR 2 Maret. Lalu pada 22 April, Presiden Sukarno di depan Sidang Konstituante
memohon agar Konstituante memutuskan berlakunya kembali UUD 1945.
Fraksi-fraksi Islam menyetujui dengan usul agar pada
kalimat "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pembukaan dan Pasal 29 UUD
1945 ditambahkan anak kalimat (tujuh kata) "dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya" sesuai dengan konsep asli
UUD 1945. Pemungutan suara mengenai usul ini berlangsung pada 29 Mei, dengan
hasil 201 anggota setuju dan 265 menolak.
Kemudian pada 30 Mei, 1 Juni dan 2 Juni diadakan
pemungutan suara mengenai usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 tanpa
penambahan yang diusulkan fraksi-fraksi Islam. Pada hari pertama 269 setuju,
199 menolak. Hari kedua 264 setuju, 204 menolak. Hari ketiga 263 setuju, 203
menolak. Baik usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 maupun usul penambahan
dari fraksi-fraksi Islam, tidak diterima konstituante sebab kedua usul itu
sama-sama tidak berhasil meraih dua pertiga suara anggota yang hadir (Pasal 137
UUDS 1950).
Akibat kemacetan Konstituante itulah pada 5 Juli
1959 Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit (Keputusan Presiden RI No. 150 Tahun
1959) yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam
Jakarta. Dekrit Presiden ini diterima secara aklamasi oleh DPR (44% anggotanya
adalah fraksi-fraksi Islam termasuk Masyumi) pada tanggal 22 Juli 1959.
Kekuatan hukum Dekrit 5 Juli 1959 serta hubungan UUD
1945 dengan Piagam Jakarta dipertegas dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
tanggal 5 Juli 1966. Ketetapan MPR(S) itu pun menegaskan bahwa Pembukaan UUD
1945 tidak boleh diubah sekalipun oleh MPR hasil pemilihan umum.
Ada baiknya kita menyimak pernyataan Bung Hatta
tentang kejadian 18 Agustus 1945: "Pada waktu itu kami dapat menginsafi
bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan
'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya'
dan menggantinya dengan 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Dalam Negara Indonesia yang
memakai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka
syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam, dapat dimajukan sebagai Rencana
Undang-Undang ke DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam
Indonesia"
(Sekitar Proklamasi, Jakarta, 1969, hal. 58). Sudah
tentu yang dimaksudkan Bung Hatta dengan "kami" adalah
anggota-anggota Panitia Persiapan yang mengesahkan UUD 1945 pada tanggal
tersebut.
Bagaimanapun, Piagam Jakarta tak dapat dipisahkan
dari UUD 1945. Jika kita berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan Pancasila
adalah dasar negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, janganlah lupa
bahwa Pembukaan UUD 1945 itu berasal dari Piagam Jakarta. Bahkan sebenarnya
yang pantas dijuluki Hari Lahir Pancasila adalah 22 Juni 1945 sebab pada hari
itulah Pancasila sebagai dasar negara pertama kali dirumuskan.
Pada tahun 1975, atas anjuran Presiden Soeharto,
terbentuklah Panitia Pancasila terdiri dari lima orang: Mohammad Hatta, Ahmad
Subardjo, A. A. Maramis, Sunario, dan A. G. Pringgodigdo (Panitia Lima). Mereka
dianggap dapat memberikan pengertian sesuai dengan alam pikiran dan semangat
lahir batin para penyusun UUD 1945 dengan Pancasilanya. Hasil pemikiran Panitia
Lima telah dibukukan dengan judul Uraian Pancasila (Jakarta, 1977).
Dalam kata pengantar buku itu, Panitia Lima
menegaskan: "Sebetulnya Panitia itu harus terdiri dari bekas Panitia
Sembilan yang menandatangani perumusan Pembukaan UUD 1945 yang kemudian disebut
Piagam Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar